Senin, 31 Desember 2012

Tips Mempercantik Balkon

Balkon (balcony-Eng) yang berarti serambi atas atau teras lantai atas sesuai fungsinya adalah faktor penting untuk desain rumah yang mengaplikasi lantai lebih dari ground floor (lantai dasar). Dalam dunia opera di eropa sana sering kita lihat balkon ditempati oleh kaum bangsawan untuk menyaksikan pertunjukan. Pada jaman sekarang balkon sudah digunakan oleh sebagian besar pemilik rumah di perkotaan yang memiliki lahan yang lebih terbatas dan menyiasatinya dengan mempertinggi rumah dengan satu atau dua lantai tambahan.

Dalam konsep rumah secara keseluruhan balkon menjadi salah satu variasi menarik.  Jika pada rumah tak bertingkat bagian atas hanya terdapat atap saja atau jika di daerah barat ada juga cerobong asap, maka pada rumah bertingkat keberadaan balkon menjadi unsur tambahan yang tak kalah manis.
Balkon dapat kita jadikan 'taman gantung' yang berisi hijau-hijau daun dan warna-warni bunga. Sebagian besar balkon dilengkapi dengan pagar untuk pengaman. Pagar tersebut dapat juga digunakan sebagai tempat untuk meletakkan atau merangkai berbagai tanaman hias yang kita sukai agar suasana balkon tampak lebih segar. 

Beberapa pemilik rumah mengaplikasi pagar teralis besi seperti gambar di atas akan lebih cocok jika ditempatkan pot bunga atau tanaman hias yang dapat digantungkan pada pagar tersebut. Tak perlu risau akan pemilihan kombinasi warna karena apapun warna tanaman atau pot yang digunakan selama itu untuk tumbuhan akan tetap tampak serasi, sangat beda jika kita bandingkan dengan kombinasi cat tembok rumah yang memerlukan keselarasan.
Untuk rumah mungil yang biasanya hanya memiliki lebar balkon sempit bisa mengaplikasi ide seperti gambar di atas. Dengan pembatas tembok ditempatkan beberapa tanaman hias dan bahkan sayuran dalam pot kotak lebar. Kebetulan kombinasi warna natural lantai dan putihnya tembok memang salah satu pilihan paling mudah untuk menonjolkan kesan santai dan sejuk di balkon seperti gambar di atas.

Yang tak ketinggalan adalah faktor kebersihan dan kerapihan perawatan tanaman agar selalu segar. Berikut beberapa contoh ide yang saya ambil dari berbagai sumber agar tampilan balkon dapat mempercantik desain rumah secara keseluruhan dengan menambahkan unsur tanaman hias.





*foto dari berbagai sumber

Demikian semoga dapat dijadikan ide..silakan jika ada komentar atau ide lain. Terima kasih.

Senin, 12 Maret 2012

Rabu, 25 Januari 2012

Rabu, 21 Januari 2009

Selasa, 18 November 2008

Jika Aku Tak Jadi Main Bola

Hari itu adalah hari Kamis. Jadwal latihan sepak bola di lapangan SMA belakang rumah bapakku adalah untuk anak-anak SMA. Sedangkan jadwal yang biasa kuikuti adalah pada hari Selasa dan Jumat. Kamis itu sama saja dengan hari-hari lain setelah lebaran. Pasti, yang kurasakan adalah gairah untuk bermain bola sedang tinggi-tingginya. Inginnya setiap hari main bola.
Kami para pemain bola kampung biasanya berbagi lapangan menurut RW alias Rukun Warga masing-masing. Tetapi di tempat kami dan mungkin di mana-mana di Indonesia, sangat wajar jika ikut latihan sepak bolanya bergabung dengan RW lain dan bukan pada jadwalnya sendiri. Itu sah-sah saja, karena di desa budaya kekeluargaan masih sangat kental. Justru kadang kami merasa diuntungkan dengan kedatangan ”legiun-legiun asing” itu di jadwal latihan kami. Maklum, tidak jarang kami kekurangan orang untuk sekedar main 11 lawan 11 atau bahkan 10 lawan 10 sekalipun. Mereka bisa jadi ”imbuh-imbuh”. Lumayan, bukan?
Kembali ke hari Kamis tadi. Setelah beraktivitas seperti biasa saya langsung bersiap-siap ikut latihan sepak bola SMA. Bapak dan Ibu sudah necis berangkat main tenis. Sedangkan si bungsu Aryo Prasodjo pun sudah ”ngguanteng” mau main basket. Tinggal aku yang sudah kepalang ”kemrungsung”, menyiapkan sepatu sepak bola lengkap dengan kaos kaki sambil sesekali bertarung menahan kesabaran karena di seberang tembok sana suara ”duk...duk...duk...duk” bertalu-talu dengan congkaknya, minta ditendang! Suara bola yang beradu dengan tembok itu membuatku semakin gelisah.
Tetapi apa yang kulihat di balik tembok ringkih itu hanya ada 5 gelintir orang di depan gawang dengan muka tak ada semangat sama sekali, hanya cengar-cengir. Yang lain, ada 4 orang yang tampaknya juga sudah siap berlatih hanya duduk-duduk ngobrol hal-hal saru. Lapangan yang gersang itu jadi semakin meranggas saja di hadapanku. Kurus, sepi, panas, lebih pantas dijadikan parkiran Departemen Pekerjaan Umum.
Tetapi dengan sikap optimis bahwa pasti ada tambahan orang, saya pemanasan secukupnya sambil tengak tengok jika ada motor lewat. Bukankah betul, jika sebelum main bola harus pemanasan dulu? Setengah jam berlalu hanya bertambah 2 orang. Itu cukup membuatku bersyukur dan tersenyum meski mereka juga hanya duduk-duduk. Apa mereka malu melakukan pemanasan ya? Apa masih ada anggapan sok pintar, ”ah, gak usah pemanasan aja mainku sudah cukup bagus, tar capek”?
Ada yang lebih lucu. Satu persatu ada orang berdatangan menengok lapangan sambil menenteng sepatunya di setang kiri sepeda motor. Tetapi yang dilakukannya hanya menengok lapangan setelah itu dengan santainya tanpa basa-basi memutar motor hendak pulang. Kejadian seperti itu terjadi beberapa kali. Saya pikir, kapan mau komplit kalau satu persatu orang hanya tengok dan pulang? Seharusnya kalau mereka pemanasan sambil menunggu yang lain datang pasti sudah bisa dimainkan, komplit!
Saya heran, banyak orang mengaku gila bola tetapi jarang sekali yang cinta kesehatan mereka sendiri. Mereka datang ke lapangan melulu hanya untuk bermain bola.mereka tidak suka pemanaan. Bahkan ada yang mengikat tali sepatu sambil merokok. Ada pula yang tidak mau memakai sepatu jika belum dilihatnya ada 21 orang siap main bola. Dikiranya hanya menunggu dia! Mereka seperti tidak suka berkeringat. Nah, baru kalau mainnya jelek, kontrol bola buruk, umpan semrawut dan mepet, tendangan asal-asalan, lari tak ada, mereka berkata, ”Aaaah, yang penting dapat keringaaat....”.
Sampai senja datang, saya berjalan pulang dengan menunduk dan tersenyum sambil menendang-nendang batu kerikil yang banyak berserakan di lapangan. Badan pun terasa mulai kedinginan karena basah keringat tanggung ditiup sepoi angin sore yang tajam. Sampai rumah, sembari melepas sepatu, di otak sudah banyak kata-kata yang ingin dituangkan di keyboard komputer untuk menjadi koreografi jari yang memikat tentang hal tadi. Yang selalu kuingat, selalu ada hikmah.
Terima kasih.

Senin, 03 November 2008

Jika Aku Tak Jadi Main Bola

Hari itu adalah hari Kamis. Jadwal latihan sepak bola di lapangan SMA belakang rumah bapakku adalah untuk anak-anak SMA. Sedangkan jadwal yang biasa kuikuti adalah pada hari Selasa dan Jumat. Kamis itu sama saja dengan hari-hari lain setelah lebaran. Pasti, yang kurasakan adalah gairah untuk bermain bola sedang tinggi-tingginya. Inginnya setiap hari main bola.

Kami para pemain bola kampung biasanya berbagi lapangan menurut RW alias Rukun Warga masing-masing. Tetapi di tempat kami dan mungkin di mana-mana di Indonesia, sangat wajar jika ikut latihan sepak bolanya bergabung dengan RW lain dan bukan pada jadwalnya sendiri. Itu sah-sah saja, karena di desa budaya kekeluargaan masih sangat kental. Justru kadang kami merasa diuntungkan dengan kedatangan ”legiun-legiun asing” itu di jadwal latihan kami. Maklum, tidak jarang kami kekurangan orang untuk sekedar main 11 lawan 11 atau bahkan 10 lawan 10 sekalipun. Mereka bisa jadi ”imbuh-imbuh”. Lumayan, bukan?

Kembali ke hari Kamis tadi. Setelah beraktivitas seperti biasa saya langsung bersiap-siap ikut latihan sepak bola SMA. Bapak dan Ibu sudah necis berangkat main tenis. Sedangkan si bungsu Aryo Prasodjo pun sudah ”ngguanteng” mau main basket. Tinggal aku yang sudah kepalang ”kemrungsung”, menyiapkan sepatu sepak bola lengkap dengan kaos kaki sambil sesekali bertarung menahan kesabaran karena di seberang tembok sana suara ”duk...duk...duk...duk” bertalu-talu dengan congkaknya, minta ditendang! Suara bola yang beradu dengan tembok itu membuatku semakin gelisah.

Tetapi apa yang kulihat di balik tembok ringkih itu hanya ada 5 gelintir orang di depan gawang dengan muka tak ada semangat sama sekali, hanya cengar-cengir. Yang lain, ada 4 orang yang tampaknya juga sudah siap berlatih hanya duduk-duduk ngobrol hal-hal saru. Lapangan yang gersang itu jadi semakin meranggas saja di hadapanku. Kurus, sepi, panas, lebih pantas dijadikan parkiran Departemen Pekerjaan Umum.

Tetapi dengan sikap optimis bahwa pasti ada tambahan orang, saya pemanasan secukupnya sambil tengak tengok jika ada motor lewat. Bukankah betul, jika sebelum main bola harus pemanasan dulu? Setengah jam berlalu hanya bertambah 2 orang. Itu cukup membuatku bersyukur dan tersenyum meski mereka juga hanya duduk-duduk. Apa mereka malu melakukan pemanasan ya? Apa masih ada anggapan sok pintar, ”ah, gak usah pemanasan aja mainku sudah cukup bagus, tar capek”?

Ada yang lebih lucu. Satu persatu ada orang berdatangan menengok lapangan sambil menenteng sepatunya di setang kiri sepeda motor. Tetapi yang dilakukannya hanya menengok lapangan setelah itu dengan santainya tanpa basa-basi memutar motor hendak pulang. Kejadian seperti itu terjadi beberapa kali. Saya pikir, kapan mau komplit kalau satu persatu orang hanya tengok dan pulang? Seharusnya kalau mereka pemanasan sambil menunggu yang lain datang pasti sudah bisa dimainkan, komplit!

Saya heran, banyak orang mengaku gila bola tetapi jarang sekali yang cinta kesehatan mereka sendiri. Mereka datang ke lapangan melulu hanya untuk bermain bola.mereka tidak suka pemanaan. Bahkan ada yang mengikat tali sepatu sambil merokok. Ada pula yang tidak mau memakai sepatu jika belum dilihatnya ada 21 orang siap main bola. Dikiranya hanya menunggu dia! Mereka seperti tidak suka berkeringat. Nah, baru kalau mainnya jelek, kontrol bola buruk, umpan semrawut dan mepet, tendangan asal-asalan, lari tak ada, mereka berkata, ”Aaaah, yang penting dapat keringaaat....”.

Sampai senja datang, saya berjalan pulang dengan menunduk dan tersenyum sambil menendang-nendang batu kerikil yang banyak berserakan di lapangan. Badan pun terasa mulai kedinginan karena basah keringat tanggung ditiup sepoi angin sore yang tajam. Sampai rumah, sembari melepas sepatu, di otak sudah banyak kata-kata yang ingin dituangkan di keyboard komputer untuk menjadi koreografi jari yang memikat tentang hal tadi. Yang selalu kuingat, selalu ada hikmah.

Terima kasih.