Senin, 03 November 2008

Jika Aku Tak Jadi Main Bola

Hari itu adalah hari Kamis. Jadwal latihan sepak bola di lapangan SMA belakang rumah bapakku adalah untuk anak-anak SMA. Sedangkan jadwal yang biasa kuikuti adalah pada hari Selasa dan Jumat. Kamis itu sama saja dengan hari-hari lain setelah lebaran. Pasti, yang kurasakan adalah gairah untuk bermain bola sedang tinggi-tingginya. Inginnya setiap hari main bola.

Kami para pemain bola kampung biasanya berbagi lapangan menurut RW alias Rukun Warga masing-masing. Tetapi di tempat kami dan mungkin di mana-mana di Indonesia, sangat wajar jika ikut latihan sepak bolanya bergabung dengan RW lain dan bukan pada jadwalnya sendiri. Itu sah-sah saja, karena di desa budaya kekeluargaan masih sangat kental. Justru kadang kami merasa diuntungkan dengan kedatangan ”legiun-legiun asing” itu di jadwal latihan kami. Maklum, tidak jarang kami kekurangan orang untuk sekedar main 11 lawan 11 atau bahkan 10 lawan 10 sekalipun. Mereka bisa jadi ”imbuh-imbuh”. Lumayan, bukan?

Kembali ke hari Kamis tadi. Setelah beraktivitas seperti biasa saya langsung bersiap-siap ikut latihan sepak bola SMA. Bapak dan Ibu sudah necis berangkat main tenis. Sedangkan si bungsu Aryo Prasodjo pun sudah ”ngguanteng” mau main basket. Tinggal aku yang sudah kepalang ”kemrungsung”, menyiapkan sepatu sepak bola lengkap dengan kaos kaki sambil sesekali bertarung menahan kesabaran karena di seberang tembok sana suara ”duk...duk...duk...duk” bertalu-talu dengan congkaknya, minta ditendang! Suara bola yang beradu dengan tembok itu membuatku semakin gelisah.

Tetapi apa yang kulihat di balik tembok ringkih itu hanya ada 5 gelintir orang di depan gawang dengan muka tak ada semangat sama sekali, hanya cengar-cengir. Yang lain, ada 4 orang yang tampaknya juga sudah siap berlatih hanya duduk-duduk ngobrol hal-hal saru. Lapangan yang gersang itu jadi semakin meranggas saja di hadapanku. Kurus, sepi, panas, lebih pantas dijadikan parkiran Departemen Pekerjaan Umum.

Tetapi dengan sikap optimis bahwa pasti ada tambahan orang, saya pemanasan secukupnya sambil tengak tengok jika ada motor lewat. Bukankah betul, jika sebelum main bola harus pemanasan dulu? Setengah jam berlalu hanya bertambah 2 orang. Itu cukup membuatku bersyukur dan tersenyum meski mereka juga hanya duduk-duduk. Apa mereka malu melakukan pemanasan ya? Apa masih ada anggapan sok pintar, ”ah, gak usah pemanasan aja mainku sudah cukup bagus, tar capek”?

Ada yang lebih lucu. Satu persatu ada orang berdatangan menengok lapangan sambil menenteng sepatunya di setang kiri sepeda motor. Tetapi yang dilakukannya hanya menengok lapangan setelah itu dengan santainya tanpa basa-basi memutar motor hendak pulang. Kejadian seperti itu terjadi beberapa kali. Saya pikir, kapan mau komplit kalau satu persatu orang hanya tengok dan pulang? Seharusnya kalau mereka pemanasan sambil menunggu yang lain datang pasti sudah bisa dimainkan, komplit!

Saya heran, banyak orang mengaku gila bola tetapi jarang sekali yang cinta kesehatan mereka sendiri. Mereka datang ke lapangan melulu hanya untuk bermain bola.mereka tidak suka pemanaan. Bahkan ada yang mengikat tali sepatu sambil merokok. Ada pula yang tidak mau memakai sepatu jika belum dilihatnya ada 21 orang siap main bola. Dikiranya hanya menunggu dia! Mereka seperti tidak suka berkeringat. Nah, baru kalau mainnya jelek, kontrol bola buruk, umpan semrawut dan mepet, tendangan asal-asalan, lari tak ada, mereka berkata, ”Aaaah, yang penting dapat keringaaat....”.

Sampai senja datang, saya berjalan pulang dengan menunduk dan tersenyum sambil menendang-nendang batu kerikil yang banyak berserakan di lapangan. Badan pun terasa mulai kedinginan karena basah keringat tanggung ditiup sepoi angin sore yang tajam. Sampai rumah, sembari melepas sepatu, di otak sudah banyak kata-kata yang ingin dituangkan di keyboard komputer untuk menjadi koreografi jari yang memikat tentang hal tadi. Yang selalu kuingat, selalu ada hikmah.

Terima kasih.

Tidak ada komentar: