Selasa, 18 November 2008

Jika Aku Tak Jadi Main Bola

Hari itu adalah hari Kamis. Jadwal latihan sepak bola di lapangan SMA belakang rumah bapakku adalah untuk anak-anak SMA. Sedangkan jadwal yang biasa kuikuti adalah pada hari Selasa dan Jumat. Kamis itu sama saja dengan hari-hari lain setelah lebaran. Pasti, yang kurasakan adalah gairah untuk bermain bola sedang tinggi-tingginya. Inginnya setiap hari main bola.
Kami para pemain bola kampung biasanya berbagi lapangan menurut RW alias Rukun Warga masing-masing. Tetapi di tempat kami dan mungkin di mana-mana di Indonesia, sangat wajar jika ikut latihan sepak bolanya bergabung dengan RW lain dan bukan pada jadwalnya sendiri. Itu sah-sah saja, karena di desa budaya kekeluargaan masih sangat kental. Justru kadang kami merasa diuntungkan dengan kedatangan ”legiun-legiun asing” itu di jadwal latihan kami. Maklum, tidak jarang kami kekurangan orang untuk sekedar main 11 lawan 11 atau bahkan 10 lawan 10 sekalipun. Mereka bisa jadi ”imbuh-imbuh”. Lumayan, bukan?
Kembali ke hari Kamis tadi. Setelah beraktivitas seperti biasa saya langsung bersiap-siap ikut latihan sepak bola SMA. Bapak dan Ibu sudah necis berangkat main tenis. Sedangkan si bungsu Aryo Prasodjo pun sudah ”ngguanteng” mau main basket. Tinggal aku yang sudah kepalang ”kemrungsung”, menyiapkan sepatu sepak bola lengkap dengan kaos kaki sambil sesekali bertarung menahan kesabaran karena di seberang tembok sana suara ”duk...duk...duk...duk” bertalu-talu dengan congkaknya, minta ditendang! Suara bola yang beradu dengan tembok itu membuatku semakin gelisah.
Tetapi apa yang kulihat di balik tembok ringkih itu hanya ada 5 gelintir orang di depan gawang dengan muka tak ada semangat sama sekali, hanya cengar-cengir. Yang lain, ada 4 orang yang tampaknya juga sudah siap berlatih hanya duduk-duduk ngobrol hal-hal saru. Lapangan yang gersang itu jadi semakin meranggas saja di hadapanku. Kurus, sepi, panas, lebih pantas dijadikan parkiran Departemen Pekerjaan Umum.
Tetapi dengan sikap optimis bahwa pasti ada tambahan orang, saya pemanasan secukupnya sambil tengak tengok jika ada motor lewat. Bukankah betul, jika sebelum main bola harus pemanasan dulu? Setengah jam berlalu hanya bertambah 2 orang. Itu cukup membuatku bersyukur dan tersenyum meski mereka juga hanya duduk-duduk. Apa mereka malu melakukan pemanasan ya? Apa masih ada anggapan sok pintar, ”ah, gak usah pemanasan aja mainku sudah cukup bagus, tar capek”?
Ada yang lebih lucu. Satu persatu ada orang berdatangan menengok lapangan sambil menenteng sepatunya di setang kiri sepeda motor. Tetapi yang dilakukannya hanya menengok lapangan setelah itu dengan santainya tanpa basa-basi memutar motor hendak pulang. Kejadian seperti itu terjadi beberapa kali. Saya pikir, kapan mau komplit kalau satu persatu orang hanya tengok dan pulang? Seharusnya kalau mereka pemanasan sambil menunggu yang lain datang pasti sudah bisa dimainkan, komplit!
Saya heran, banyak orang mengaku gila bola tetapi jarang sekali yang cinta kesehatan mereka sendiri. Mereka datang ke lapangan melulu hanya untuk bermain bola.mereka tidak suka pemanaan. Bahkan ada yang mengikat tali sepatu sambil merokok. Ada pula yang tidak mau memakai sepatu jika belum dilihatnya ada 21 orang siap main bola. Dikiranya hanya menunggu dia! Mereka seperti tidak suka berkeringat. Nah, baru kalau mainnya jelek, kontrol bola buruk, umpan semrawut dan mepet, tendangan asal-asalan, lari tak ada, mereka berkata, ”Aaaah, yang penting dapat keringaaat....”.
Sampai senja datang, saya berjalan pulang dengan menunduk dan tersenyum sambil menendang-nendang batu kerikil yang banyak berserakan di lapangan. Badan pun terasa mulai kedinginan karena basah keringat tanggung ditiup sepoi angin sore yang tajam. Sampai rumah, sembari melepas sepatu, di otak sudah banyak kata-kata yang ingin dituangkan di keyboard komputer untuk menjadi koreografi jari yang memikat tentang hal tadi. Yang selalu kuingat, selalu ada hikmah.
Terima kasih.

Senin, 03 November 2008

Jika Aku Tak Jadi Main Bola

Hari itu adalah hari Kamis. Jadwal latihan sepak bola di lapangan SMA belakang rumah bapakku adalah untuk anak-anak SMA. Sedangkan jadwal yang biasa kuikuti adalah pada hari Selasa dan Jumat. Kamis itu sama saja dengan hari-hari lain setelah lebaran. Pasti, yang kurasakan adalah gairah untuk bermain bola sedang tinggi-tingginya. Inginnya setiap hari main bola.

Kami para pemain bola kampung biasanya berbagi lapangan menurut RW alias Rukun Warga masing-masing. Tetapi di tempat kami dan mungkin di mana-mana di Indonesia, sangat wajar jika ikut latihan sepak bolanya bergabung dengan RW lain dan bukan pada jadwalnya sendiri. Itu sah-sah saja, karena di desa budaya kekeluargaan masih sangat kental. Justru kadang kami merasa diuntungkan dengan kedatangan ”legiun-legiun asing” itu di jadwal latihan kami. Maklum, tidak jarang kami kekurangan orang untuk sekedar main 11 lawan 11 atau bahkan 10 lawan 10 sekalipun. Mereka bisa jadi ”imbuh-imbuh”. Lumayan, bukan?

Kembali ke hari Kamis tadi. Setelah beraktivitas seperti biasa saya langsung bersiap-siap ikut latihan sepak bola SMA. Bapak dan Ibu sudah necis berangkat main tenis. Sedangkan si bungsu Aryo Prasodjo pun sudah ”ngguanteng” mau main basket. Tinggal aku yang sudah kepalang ”kemrungsung”, menyiapkan sepatu sepak bola lengkap dengan kaos kaki sambil sesekali bertarung menahan kesabaran karena di seberang tembok sana suara ”duk...duk...duk...duk” bertalu-talu dengan congkaknya, minta ditendang! Suara bola yang beradu dengan tembok itu membuatku semakin gelisah.

Tetapi apa yang kulihat di balik tembok ringkih itu hanya ada 5 gelintir orang di depan gawang dengan muka tak ada semangat sama sekali, hanya cengar-cengir. Yang lain, ada 4 orang yang tampaknya juga sudah siap berlatih hanya duduk-duduk ngobrol hal-hal saru. Lapangan yang gersang itu jadi semakin meranggas saja di hadapanku. Kurus, sepi, panas, lebih pantas dijadikan parkiran Departemen Pekerjaan Umum.

Tetapi dengan sikap optimis bahwa pasti ada tambahan orang, saya pemanasan secukupnya sambil tengak tengok jika ada motor lewat. Bukankah betul, jika sebelum main bola harus pemanasan dulu? Setengah jam berlalu hanya bertambah 2 orang. Itu cukup membuatku bersyukur dan tersenyum meski mereka juga hanya duduk-duduk. Apa mereka malu melakukan pemanasan ya? Apa masih ada anggapan sok pintar, ”ah, gak usah pemanasan aja mainku sudah cukup bagus, tar capek”?

Ada yang lebih lucu. Satu persatu ada orang berdatangan menengok lapangan sambil menenteng sepatunya di setang kiri sepeda motor. Tetapi yang dilakukannya hanya menengok lapangan setelah itu dengan santainya tanpa basa-basi memutar motor hendak pulang. Kejadian seperti itu terjadi beberapa kali. Saya pikir, kapan mau komplit kalau satu persatu orang hanya tengok dan pulang? Seharusnya kalau mereka pemanasan sambil menunggu yang lain datang pasti sudah bisa dimainkan, komplit!

Saya heran, banyak orang mengaku gila bola tetapi jarang sekali yang cinta kesehatan mereka sendiri. Mereka datang ke lapangan melulu hanya untuk bermain bola.mereka tidak suka pemanaan. Bahkan ada yang mengikat tali sepatu sambil merokok. Ada pula yang tidak mau memakai sepatu jika belum dilihatnya ada 21 orang siap main bola. Dikiranya hanya menunggu dia! Mereka seperti tidak suka berkeringat. Nah, baru kalau mainnya jelek, kontrol bola buruk, umpan semrawut dan mepet, tendangan asal-asalan, lari tak ada, mereka berkata, ”Aaaah, yang penting dapat keringaaat....”.

Sampai senja datang, saya berjalan pulang dengan menunduk dan tersenyum sambil menendang-nendang batu kerikil yang banyak berserakan di lapangan. Badan pun terasa mulai kedinginan karena basah keringat tanggung ditiup sepoi angin sore yang tajam. Sampai rumah, sembari melepas sepatu, di otak sudah banyak kata-kata yang ingin dituangkan di keyboard komputer untuk menjadi koreografi jari yang memikat tentang hal tadi. Yang selalu kuingat, selalu ada hikmah.

Terima kasih.

Minggu, 02 November 2008

Seni untuk Anak

Beberapa waktu lalu saya membaca sebuah buku modul keluaran Universitas Terbuka yang berjudul “Pendidikan Seni di SD” karya Hadjar Pamadhi dkk. Di buku itu salah satunya menerangkan manfaat belajar seni bagi anak usia SD khususnya seni rupa. Diantara manfaat belajar seni rupa adalah seni rupa sebagai bahasa visual, seni membantu pertumbuhan mental dan seni sebagai media bermain.
Yang saya garis bawahi adalah poin kedua, yaitu seni membantu pertumbuhan mental. Dalam buku disebutkan pada usia 7-8 tahun (antara kelas 1-2 SD) merupakan usia perkembangan penalaran anak, pemikiran dan perasaan anak mulai berkembang memisah dan tidak selaras. Ini ditunjukkan dengan pola-pola gambar yang dihasilkan anak. Tipe anak yang kuat penalarannya cenderung lebih dominan nuansa garis serta objek yang lebih realistis daripada anak bertipe perasaan. Anak yang kuat perasaannya menunjukkan kuat blok-blok warna dan pemberian tekanan hanya pada salah satu figur. Pada buku juga disebutkan bahwa belajar seni dibutuhkan anak dalam menanggapi lingkungan dan dapat dituangkan dalam bentuk seni rupa.
Dengan belajar seni rupa, anak mampu memvisualisasikan apa yang ditangkap oleh mata yang kemudian diolah di otak kemudian di tuangkan oleh tangan kembali dalam bentuk rupa yang secara langsung membuat otak kiri (rasional) dan kanan (emosional) bekerja bersama. Anak yang mempunyai kecerdasan emosional lebih terampil dan tanpa takut mengembangkan dalam rutinitas sehari-hari.
Pada usia pertumbuhan tak selaras (antara otak kanan/perasaan dan otak kiri/penalaran) tersebut arah perkembangan mentalnya sangat dipengaruhi oleh lingkungan terutama keluarga dan sekolah.
Untuk orang tua ajaklah selalu putra-putri Anda berkesenian. Tak hanya seni rupa, tetapi seni yang lain pula tak kalah bagus. Ajarkan mereka menuangkan perasaan melalui seni. Di samping hubungan orang tua dengan anak semakin dekat, diharapkan tak ada lagi anak yang bingung cari jalan keluar dari masalah. Tak perlu lagi kita mendengar berita anak SD bunuh diri karena takut nilai yang hanya angka-angka itu jelek yang berakibat dimarahi orang tua yang menginginkan anak mempunyai nilai tinggi di sekolah.
Membangun Mental Siswa

Yang membedakan sekolah biasa dengan sekolah berkarakter adalah prestasinya. Baik itu prestasi akademik ataupun prestasi non akademik. Sebuah sekolah bisa dibilang berprestasi di bidang akademik jika dalam ujian nasional siswa kelas 3 lulus semua. Atau ada siswa wakil sekolah tersebut yang menjuarai olimpiade di bidang studi tertentu.
Sebuah sekolah bisa juga berprestasi melalui kegiatan ekstrakurikuler. Misalnya menjuarai Survival pada Pramuka, Jumbara pada PMR, Juara Bola Basket, Juara Melukis, Juara Karawitan, Juara Menyanyi, Juara Band, Juara Karate, dan lain sebagainya.
Hanya saja hingga sekarang masih banyak di sekolah-sekolah menunjukkan bahwa beberapa di antara komponen sekolah sendiri kurang mendukung kegiatan ekstrakurikuler. Mereka kelihatan lebih sreg kalau yang lebih berprestasi adalah kegiatan di bidang akademik. Tetapi sebaiknya harus seimbang.
Ini semua bisa diawali dengan menghidupkan kembali kegiatan-kegiatan ekstrakukuler yang sempat terhenti atau mengadakan ekstrakurikuler baru. Selain itu tumbuhkan perasaan nyaman pada siswa dalam melaksanakan kegiatan tersebut dengan cara saling mendukung dan tidak setengah-setengah. Ini berlaku untuk semua warga sekolah. Mulai dari kepala sekolah, wakil kepala, guru, tata usaha, tukang kebun, masyarakat dan murid itu sendiri.
Biarkan siswa-siswa itu menemukan jati diri mereka dalam kegiatan tersebut. Tidak bisa kita hanya mengandalkan sisi akademik semata. Toh sistem pendidikan kita masih nyenthel di jabatan yang namanya Menteri Pendidikan, sering diubah-ubah, bingung cari formula tepat, yang akhirnya muncul keputusan berorientasi instan. Apakah itu kita?
Biarkan siswa-siswa menemukan karakter mereka. Biarkan mereka lelah seharian di sekolah. Dukung mereka berkarya, tanpa karya mati sia-sia. Siapa akan ingat dirimu jika tanpa karya? Latih mereka agar menjadi tombak titanium, menembus belantara Indonesia yang sendi-sendinya berkarat karena pelumasnya dicuri juru kuncinya sendiri. Maju, Pendidikan Indonesia!!!